Rabu, 30 November 2011

Sekolah ketika banjir






Salah satu pemandangan ketika hujan dari sebuah jendela, terlihat seorang pulang merumput


Saya sebelumnya tak menyangka akan terdampar di sebuah daerah di selatan Tulungagung. Daerah yang dulu pertama kali saya datangi itu seperti saat ini, yaitu musim hujan yang mulai tiba. 2 Tahun yang lalu itu saya mengujungi tempat sekolahan saya ditugaskan. Tidak tahu lokasi itu, bersama dengan guru yang sudah lama saya mendatangi sekolah itu.


Hari ini adalah hari yang sama dengan pertama kali saya datang dan setahun yang lalu saya melakukan rutinitas. Ada hal-hal unik yang sepertinya perlu untuk dibagi di blog ini. Musim hujan telah tiba, bisa diprediksi setiap hari akan turun air dari langit ini. Pastinya dalam setiap kejadian ada yang menginginkannya dan tidak terlalu mengharapkannya. Tapi ini adalah kehendak alam, yang pasti dan harus diterima. Musim hujan dan kemarau silih berganti.


Layaknya daerah pegunungan dan masyarakatnya yang bergantung pada hasil bumi sebagai petani atau peladang. Bagi masyarakat ujung selatan kota Marmer ini, hujan adalah berkah yang dinanti. Karena dengan turun hujan mereka dapat memulai untuk mengarap ladangnya. Dengan tanah yang sudah basah yang sebelumnya sudah dicangkulinya menjadi lahan untuk menanam jagung, ketela ataupun padi. Tak jarang kegiatan di awal musim hujan untuk menanami ladangnya mengajak anak-anaknya untuk membantunya. Akhirnya ada saja anak yang tidak masuk dengan alasan membantu orang tuanya menanam jagung. Tapi itu jumlahnya tak banyak, sebagian lebih sering di siang atau sore.





Jalan itu terasa memilukan hati dan membuat hati menangis


Musim hujan juga terus-terusan membasahi tanah pegunungan ini juga membuat setapak itu sulit untuk untuk dilewati. Sekitar 1 kilometer jalan menuju sekolah itu yang masih berupa batu terjal dan tanah itu menjadi becek, tak ubahnya seperti kumbangan lumpur yang licin. Jangan berharap motor itu terlihat bersih, hujan membuat jalan itu sulit untuk dilewati. Ini lebih baik dari puluhan tahun yang lalu, kata seorang teman yang menceritakan pengalamannya. Dulu untuk sampai ke sekolahan yang berjarak 15 km dari kota kecamatan ini tidak bisa dilalui dengan motor, harus menitipkan motornya dan berjalan kaki untuk sampai ke sekolah dengan lumpur yang tebal.


Ketika musim hujan tiba, anak yang ke sekolah banyak yang tidak memakai sepatu, mereka banyak yang memakai sandal jepit. Jalan yang becek itu membuat mereka memilih memakai sandal dari pada mengotori sepatunya. Begitu juga dengan saya, kotor adalah hal yang biasa, cipratan air kotor dan lumpur.





Anak-anak pakai sandal jepit, salahkah kalau gurunya juga pakai sandal?


Itulah fenomena dan pengalaman ketika musim hujan tiba di sekolah, ada beberapa pengaruhnya bagi saya, masyarakat dan anak-anak. Hujan adalah berkah, tapi sudah selayaknya dampak negatif yang mengikutinya bisa lebih dikurangi. Setiap daerah mempunyai permasalahan-permasalahan sendiri, mungkin jika di kota besar ancaman banjir, maka bagi mereka yang ada di sekitar sekolahan itu, jalan menjadi lebih sulit untuk dilewati adalah tantangannya. Sudah seharusnya pembangunan itu lebih merata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar